Banjir yang terjadi diakhir tahun
2003 yang lalu, merupakan salah satu peristiwa banjir yang tergolong
cukup besar melanda beberapa kawasan daerah aliran sungai, lahan
pertanian yang subur, pemukiman penduduk dan juga mengakibatkan
terputusnya hubungan darat Kabupaten Donggala dengan kota Palu Ibukota
Propinsi Sulawesi Tengah. Akibat lebih jauh
lagi yaitu terjadinya degradasi lahan dan krisis hidrologis, hal ini
dapat berarti bahwa DAS tersebut sudah tidak dapat menjalankan fungsinya
sebagai “Storage” (pengatur dan penyimpan) air di musim penghujan
ataupun dimusim kemarau.
Banjir dan kekeringan adalah masalah yang
saling berkaitan dan datang susul menyusul, semua faktor yang
menyebabkan kekeringan akan bergulir menyebabkan terjadinya banjir
(Maryono, 2005). Lebih lanjut (Siswoko, 2002) menyatakan bahwa beberapa
faktor menjadi penyebab masalah banjir yaitu adanya interaksi antara
factor penyebab yang bersifat alamiah, dalam hal ini kondisi dan
peristiwa alam serta campur tangan manusia yang beraktivitas pada daerah
pengaliran.
Upaya yang dapat dilakukan untuk menekan
terjadinya peristiwa banjir; untuk banjir yang disebabkan oleh curah
hujan yaitu menjauhkan segala bentuk kegiatan ( pemukiman, industri dan
pusat pertumbuhan lainnya) dari daerah banjir yang secara historis telah
dipetakan berdasarkan data curah hujan setempat, sedangkan untuk banjir
akibat aktivitas manusia dan kerusakan lingkungan dapat diupayakan
dengan dua cara secara non teknik stuktural dan secara teknik
struktural.
PENDAHULUAN
Fenomena banjir di daerah tropis
khususnya Indonesia membawa dampak negatif; akhir-akhir ini menimbulkan
berbagai kerugian dari segi kesehatan, kerugian harta benda, dan bahkan
kehilangan nyawa penduduk.
Peningkatan jumlah penduduk Indonesia
mencapai 2,3 % per tahun dan pertumbuhan populasi tersebut tidak
sebanding dengan ketersediaan lahan, ketersediaan lapangan kerja serta
minimnya ketrampilan dan rendahnya tingkat pendidikan. Hal ini mendorong
masyarakat mengeksploitasi sumberdaya alam melalui pembalakan hutan
(forest logging), pengurangan areal tegakan hutan (deforestasi) dan
pembukaan lahan pertanian baru yang intensif pada kawasan hulu daerah
aliran sungai (DAS) tanpa menggunakan kaidah konservasi mengakibatkan
tanah rentan terhadap erosi dan tanah longsor yang berperan mempercepat
proses terjadinya banjir di kawasan hilir DAS.
Banjir akhir tahun 2003 merupakan
peristiwa banjir yang tergolong cukup besar dengan melanda beberapa
kawasan daerah aliran sungai, lahan pertanian yang subur, pemukiman
penduduk dan juga mengakibatkan terputusnya hubungan darat Kabupaten
Donggala dengan kota Palu Ibukota Propinsi Sulawesi Tengah. Banjir
menyebabkan degradasi lahan dan krisis hidrologis, berarti bahwa DAS
tersebut sudah tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai “Storage”
(pengatur dan penyimpan) air musim penghujan ataupun dimusim kemarau.
Keadaan alam wilayah Sulawesi Tengah,
tidak jauh berbeda dengan wilayah lainnya di Pulau Sulawesi. Bentangan
pegunungan dan dataran tinggi mendominasi permukaan tanah propinsi ini,
bagian utara wilayah Kabupaten Buol dan Toli-toli terdapat deretan
pegunungan yang berangkai ke jajaran pegunungan Propinsi Sulawesi Utara,
bagian tengah terdapat lahan tergolong kritis diapit oleh Selat
Makassar dan Teluk Tomini, wilayah ini secara administratif termasuk
Kabupaten Donggala dan Kabupaten Parigi Moutong, sebagian besarnya
merupakan daerah pegunungan dan perbukitan, bagian selatan dan timur
mencakup wilayah Kabupaten Poso, Kabupaten Tojo Unauna, Kabupaten
Morowali dan Kabupaten Banggai, berjejer pegunungan seperti Pegunungan
Tokolekayu, Verbeek, Tineba, Pampangeo, Fennema, Balingara, dan
Pegunungan Batui, sebagian besar dari daerah-daerah pegunungan itu
mempunyai lereng terjal dengan kemiringan di atas 450.
Kondisi DAS Lolitasiburi dan DAS Tawaeli
kabupaten Donggala saat ini rentan terhadap erosi dan sedimentasi
disebabkan terkikisnya tanah sekitar aliran dan tebing-tebing sungai
berakibat pada pelebaran dan pendangkalan yang merubah alur sungai,
keadaan DAS demikian kritis masih terdapat aktivitas tata guna lahan,
penambangan sirtu (pasir dan batu), kesalahan perencanaan implementasi
kawasan dan kesalahan konsep drainase secara keseluruhan memicu peluang
terjadinya banjir.
TATA GUNA LAHAN DAN PENGOLAHAN AIR
Pemanfatan sumberdaya alam tidak sesuai
kemampuan dan daya dukungnya berdampak mempercepat rusaknya daur
hidrologi, dalam kondisi ekstrim tertentu mempercepat terjadinya
kekeringan yang mengarah pada ‘desertification’ maupun banjir. Peranan
tata guna lahan pada aliran permukaan bisa digambarkan dalam koefisien
aliran permukaan sebagai bilangan yang menunjukkan perbandingan antara
besar aliran permukaan dan besarnya curah hujan, angka koefisien aliran
permukaan merupakan salah satu indikator yang menentukan kondisi fisik
DAS. Hingga saat ini peran lahan kering belum didayagunakan secara
optimal, selain itu pemerintah dengan gerakan nasional reboisasi hutan
dan lahan masih jauh dari yang diharapkan akibatnya banjir bandang masih
terus terjadi.
Ekosistem DAS hulu merupakan bagian
penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan bagian
DAS. Perlindungan ini antara lain sebagai fungsi tata air, oleh
karenanya perencanaan DAS hulu seringkali menjadi fokus perhatian
mengingat dalam suatu DAS bagian hulu dan hilir mempunyai keterkaitan
biofisik melalui daur hidrologi. Aktivitas perubahan tataguna lahan dan
atau pembuatan bangunan konservasi dilaksanakan di daerah hulu dapat
memberikan dampak di daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit
air dan transport sedimen serta material terlarut lain (non-point
pollution). Keterkaitan DAS hulu – hilir di atas dapat digunakan sebagai
satuan unit perencanaan sumberdaya alam termasuk pembangunan pertanian
berkelanjutan.
ANALISA FAKTOR PENYEBAB BANJIR
Banjir dalam bahasa populernya biasa
diartikan sebagai aliran atau genangan air yang menimbulkan kerugian
ekonomi atau bahkan menyebabkan kehilangan jiwa, sedangkan dalam istilah
teknik ‘banjir’ adalah aliran air sungai yang mengalir melampaui
kapasitas tampung sungai tersebut (Hewlett, 1982 dalam Asdak, 2002)
Lebih lanjut Siswoko (2002), menyatakan peristiwa banjir merupakan suatu
indikasi dari ketidakseimbangan sistem lingkungan dalam proses
mengalirkan air permukaan, dipengaruhi oleh besar debit air yang
mengalir melebihi daya tampung daerah pengaliran, selain debit aliran
permukaan banjir juga dipengaruhi oleh kondisi daerah pengaliran dan
iklim (Curah hujan) setempat.
1. Faktor campur tangan manusia
Menurut Siswoko (1996), beberapa hal yang
menimbulkan terjadinya banjir akibat dari aktifitas manusia yaitu; aktifitas tataguna lahan dengan tidak memperhatikan kaidah-kaidah
konservasi tanah dan air sehingga berakhir dengan kerusakan hutan dan
pemadatan tanah, akibatnya mempengaruhi kemampuan tanah dalam meloloskan
air (infiltrasi) yang mempercepat proses terjadinya banjir, pemanfaatan atau penyedotan air tanah yang berlebihan, pembendungan
melintang daerah pengaliran tampa memperhitungkan dampaknya, pemukiman dan pengolahan lahan pertanian di daerah dataran banjir, pendangkalan daerah pengaliran akibat sediment dan sampah, kesalahan
perencanaan dan implementasi pembangunan kawasan dan pemeliharaan
sarana dan prasarana pengendali banjir.
2. Faktor kondisi dan peristiwa alam
Menurut Lee (1980) dalam Subagio (1990),
pengaruh penutupan hutan terhadap banjir dan kurasakan akibat banjir
berkaitan dengan sedimentasi dan debit kotoran, khususnya kerusakan
akibat erosi dan pendangkalan sungai. Lebih lanjut Schwab, dkk (1997),
menyatakan pengaruh faktor daerah tangkapan air seperti ukuran, bentuk,
posisi, topografi, geologi dan budidaya pertanian menentukan terjadinya
banjir. Laju dan volume banjir suatu daerah tangkapan air meningkat bila
ukuran daerah juga meningkat; akan tetapi laju dan volume banjir
persatuan luas daerah tangkapan air berkurang jika luas daerah banjir
bertambah.
DAMPAK NEGATIF BANJIR PADA MASYARAKAT DAN LAHAN SEKITARNYA
Banjir merupakan masalah yang menganggu
stabilitas ekonomi, banjir terjadi bukan hanya menimbulkan kerugian
berupa harta benda dan kehilangan nyawa di tempat terjadinya tetapi
berdampak lebih luas yaitu melumpuhkan sistem perekonomi. Contoh banjir
yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia seperti; Jakarta, Jambi,
Kalimantan dan Sulawesi. Debit atau volume air mampu menggenangi kota,
pemukiman, jalan raya, sarana dan prasarana yang digunakan untuk
melakukan kegiatan perekonomian.
Fenomena banjir khususnya di Kabupaten
Donggala Sulawesi Tengah tahun 2003 berdampak terhadap pemadaman listrik
dan terputusnya sejumlah sarana jalan jalur trans-sulawesi Palu –
Donggala dan jalur trans-sulawesi Palu-Parigi Moutung lumpuh total.
Debit air mencapai ketinggian 70 cm -1 meter, diperkirakan ratusan rumah
penduduk, desa dan lahan pertanian subur tergenang. Banjir ini,
menunjukan bahwa faktor yang menahan luapan air telah hilang, dapat
diprediksi dengan semakin berkurangnya luas hutan sebagai pengatur tata
air, akibat terus ditebangi sehingga efek respon dari hutan berkurang
akibatnya akumulasi debit DAS tawaeli dan DAS Lolitasiburi berakhir
dengan terjadinya banjir.
UPAYA MENEKAN BENCANA BANJIR
Terjadinya banjir tidak bisa dicegah,
tetapi dapat berkurang dengan prediksi banjir serta usaha pengendalian
yang tepat. Fenomena banjir merupakan peristiwa yang tidak diinginkan
oleh siapapun, sehingga perlu perencanaan dan perlakuan khusus terhadap
DAS ataupun saluran buatan agar kapasitas sungai dan drainase dapat
menampung serta mengalirkan air dimusim penghujan, hingga luapan air
dapat terkendali. Penanggulangan banjir dari faktor hujan sangat sulit
karena hujan adalah faktor eksternal digerakkan oleh iklim makro secara
global, sehingga upaya yang masih dapat dilakukan adalah menjauhkan
bentuk kegiatan (pemukiman, industri dan pusat pertumbuhan lainnya) dari
daerah banjir yang secara historis telah dipetakan berdasarkan data
curah hujan setempat.
Secara umum alternatif untuk menguragi kerugian dan kurusakan akibat banjir pada daerah aliran sungai adalah:
- Secara non tehnik structural
- Pembuatan peraturan daerah tentang penguasaan lahan dan peraturan daerah tentang daerah dataran banjir serta garis sepadan sungai.
- Pelaksanaan tindakan rehabilitasi lahan menggunakan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air guna memperkecil aliran permukaan.
- Pengaturan penggunaan lahan untuk mengantisipasi pembangunan ataupun pemanfaatan daerah dataran banjir.
- Pengaturan penambangan galian C (pasir dan batu) agar pengelolaanya berwawasan lingkungan (khusus Palu dan Donggala).
- Perlunya sosialisasi masalah banjir dan akibat yang ditimbulkan, sehingga diharapkan aktifitas masyarakat yang bermukim disekitar daerah pengaliran dapat berwawasan lingkungan.
- Secara tehnik structural
- Pembuatan kolam retensi dan atau sumur resapan diseluruh kawasan perkebunan, pertanian, pemukiman, perkantoran, perkotaan dan pedesaan
- Pembuatan jembatan dirancang dengan panjang dan tinggi maksimal untuk kelancaran aliran air dalam volume besar (Khusus DAS).
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian dapat disimpulkan sebagai berikut:
- Banjir dapat terjadi akibat iklim (curah hujan) dan banjir dapat bula terjadi akibat kerusakan DAS bagian hulu, tengah dan hilir.
- Upaya yang dapat dilakukan menekan peristiwa banjir; untuk banjir yang disebabkan oleh curah hujan yaitu menjauhkan segala kegiatan ( pemukiman, industri dan pusat pertumbuhan lainnya) dari daerah banjir yang secara historis telah dipetakan berdasarkan data curah hujan setempat, sedangkan untuk banjir akibat aktifitas manusia dan kerusakan lingkungan dapat diupayakan dengan dua cara secara non teknik stuktural dan secara teknik struktura
0 komentar:
Posting Komentar