Masalah Banjir Tak Kunjung Selesai


 Banjir yang terjadi diakhir tahun 2003 yang lalu, merupakan salah satu peristiwa banjir yang tergolong cukup besar melanda beberapa kawasan daerah aliran sungai, lahan pertanian yang subur, pemukiman penduduk dan juga mengakibatkan terputusnya hubungan darat Kabupaten Donggala dengan kota Palu Ibukota Propinsi Sulawesi Tengah. Akibat lebih jauh lagi yaitu terjadinya degradasi lahan dan krisis hidrologis, hal ini dapat berarti bahwa DAS tersebut sudah tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai “Storage” (pengatur dan penyimpan) air di musim penghujan ataupun dimusim kemarau.
Banjir dan kekeringan adalah masalah yang saling berkaitan dan datang susul menyusul, semua faktor yang menyebabkan kekeringan akan bergulir menyebabkan terjadinya banjir (Maryono, 2005). Lebih lanjut (Siswoko, 2002) menyatakan bahwa beberapa faktor menjadi penyebab masalah banjir yaitu adanya interaksi antara factor penyebab yang bersifat alamiah, dalam hal ini kondisi dan peristiwa alam serta campur tangan manusia yang beraktivitas pada daerah pengaliran.
Upaya yang dapat dilakukan untuk menekan terjadinya peristiwa banjir; untuk banjir yang disebabkan oleh curah hujan yaitu menjauhkan segala bentuk kegiatan ( pemukiman, industri dan pusat pertumbuhan lainnya) dari daerah banjir yang secara historis telah dipetakan berdasarkan data curah hujan setempat, sedangkan untuk banjir akibat aktivitas manusia dan kerusakan lingkungan dapat diupayakan dengan dua cara secara non teknik stuktural dan  secara teknik struktural.

PENDAHULUAN
Fenomena banjir di daerah tropis khususnya Indonesia membawa dampak negatif; akhir-akhir ini menimbulkan berbagai kerugian dari segi kesehatan, kerugian harta benda, dan bahkan kehilangan nyawa penduduk.
Peningkatan jumlah penduduk Indonesia mencapai 2,3 % per tahun dan pertumbuhan populasi tersebut tidak sebanding dengan ketersediaan lahan, ketersediaan lapangan kerja serta minimnya ketrampilan dan rendahnya tingkat pendidikan. Hal ini mendorong masyarakat mengeksploitasi sumberdaya alam melalui pembalakan hutan (forest logging), pengurangan areal tegakan hutan (deforestasi) dan pembukaan lahan pertanian baru yang intensif pada kawasan hulu daerah aliran sungai (DAS) tanpa menggunakan kaidah konservasi mengakibatkan tanah rentan terhadap erosi dan tanah longsor yang berperan mempercepat proses terjadinya banjir di kawasan hilir DAS.
Banjir akhir tahun 2003 merupakan peristiwa banjir yang tergolong cukup besar dengan melanda beberapa kawasan daerah aliran sungai, lahan pertanian yang subur, pemukiman penduduk dan juga mengakibatkan terputusnya hubungan darat Kabupaten Donggala dengan kota Palu Ibukota Propinsi Sulawesi Tengah. Banjir menyebabkan degradasi lahan dan krisis hidrologis, berarti bahwa DAS tersebut sudah tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai “Storage” (pengatur dan penyimpan) air musim penghujan ataupun dimusim kemarau.
Keadaan alam wilayah Sulawesi Tengah, tidak jauh berbeda dengan wilayah lainnya di Pulau Sulawesi. Bentangan pegunungan dan dataran tinggi mendominasi permukaan tanah propinsi ini, bagian utara wilayah Kabupaten Buol dan Toli-toli terdapat deretan pegunungan yang berangkai ke jajaran pegunungan Propinsi Sulawesi Utara, bagian tengah terdapat lahan tergolong kritis diapit oleh Selat Makassar dan Teluk Tomini, wilayah ini secara administratif termasuk Kabupaten Donggala dan Kabupaten Parigi Moutong, sebagian besarnya merupakan daerah pegunungan dan perbukitan, bagian selatan dan timur mencakup wilayah Kabupaten Poso, Kabupaten Tojo Unauna, Kabupaten Morowali dan Kabupaten Banggai, berjejer pegunungan seperti Pegunungan Tokolekayu, Verbeek, Tineba, Pampangeo, Fennema, Balingara, dan Pegunungan Batui, sebagian besar dari daerah-daerah pegunungan itu mempunyai lereng terjal dengan kemiringan di atas 450.
Kondisi DAS Lolitasiburi dan DAS Tawaeli kabupaten Donggala saat ini rentan terhadap erosi dan sedimentasi disebabkan terkikisnya tanah sekitar aliran dan tebing-tebing sungai berakibat pada pelebaran dan pendangkalan yang merubah alur sungai, keadaan DAS demikian kritis masih terdapat aktivitas tata guna lahan, penambangan sirtu (pasir dan batu), kesalahan perencanaan implementasi kawasan dan kesalahan konsep drainase secara keseluruhan memicu peluang terjadinya banjir.


TATA GUNA LAHAN DAN PENGOLAHAN AIR
Pemanfatan sumberdaya alam tidak sesuai kemampuan dan daya dukungnya berdampak mempercepat rusaknya daur hidrologi, dalam kondisi ekstrim tertentu mempercepat terjadinya kekeringan yang mengarah pada ‘desertification’ maupun banjir. Peranan tata guna lahan pada aliran permukaan bisa digambarkan dalam koefisien aliran permukaan sebagai bilangan yang menunjukkan perbandingan antara besar aliran permukaan dan besarnya curah hujan, angka koefisien aliran permukaan merupakan salah satu indikator yang menentukan kondisi fisik DAS. Hingga saat ini peran lahan kering belum didayagunakan secara optimal, selain itu pemerintah dengan gerakan nasional reboisasi hutan dan lahan masih jauh dari yang diharapkan akibatnya banjir bandang masih terus terjadi.
Ekosistem DAS hulu merupakan bagian penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan bagian DAS. Perlindungan ini antara lain sebagai fungsi tata air, oleh karenanya perencanaan DAS hulu seringkali menjadi fokus perhatian mengingat dalam suatu DAS bagian hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi. Aktivitas perubahan tataguna lahan dan atau pembuatan bangunan konservasi dilaksanakan di daerah hulu dapat memberikan dampak di daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit air dan transport sedimen serta material terlarut lain (non-point pollution). Keterkaitan DAS hulu – hilir di atas dapat digunakan sebagai satuan unit perencanaan sumberdaya alam termasuk pembangunan pertanian berkelanjutan.

ANALISA FAKTOR PENYEBAB BANJIR
Banjir dalam bahasa populernya biasa diartikan sebagai aliran atau genangan air yang menimbulkan kerugian ekonomi atau bahkan menyebabkan kehilangan jiwa, sedangkan dalam istilah teknik ‘banjir’ adalah aliran air sungai yang mengalir melampaui kapasitas tampung sungai tersebut (Hewlett, 1982 dalam Asdak, 2002) Lebih lanjut Siswoko (2002), menyatakan peristiwa banjir merupakan suatu indikasi dari ketidakseimbangan sistem lingkungan dalam proses mengalirkan air permukaan, dipengaruhi oleh besar debit air yang mengalir melebihi daya tampung daerah pengaliran, selain debit aliran permukaan banjir juga dipengaruhi oleh kondisi daerah pengaliran dan iklim (Curah hujan) setempat.

1. Faktor campur tangan manusia
Menurut Siswoko (1996), beberapa hal yang menimbulkan terjadinya banjir akibat dari aktifitas manusia yaitu;  aktifitas tataguna lahan dengan tidak memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air sehingga berakhir dengan kerusakan hutan dan pemadatan tanah, akibatnya mempengaruhi kemampuan tanah dalam meloloskan air (infiltrasi) yang mempercepat proses terjadinya banjir, pemanfaatan atau penyedotan air tanah yang berlebihan,  pembendungan melintang daerah pengaliran tampa memperhitungkan dampaknya,  pemukiman dan pengolahan lahan pertanian di daerah dataran banjir, pendangkalan daerah pengaliran akibat sediment dan sampah,  kesalahan perencanaan dan implementasi pembangunan kawasan dan pemeliharaan sarana dan prasarana pengendali banjir.
2. Faktor kondisi dan peristiwa alam
Menurut Lee (1980) dalam Subagio (1990), pengaruh penutupan hutan terhadap banjir dan kurasakan akibat banjir berkaitan dengan sedimentasi dan debit kotoran, khususnya kerusakan akibat erosi dan pendangkalan sungai. Lebih lanjut Schwab, dkk (1997), menyatakan pengaruh faktor daerah tangkapan air seperti ukuran, bentuk, posisi, topografi, geologi dan budidaya pertanian menentukan terjadinya banjir. Laju dan volume banjir suatu daerah tangkapan air meningkat bila ukuran daerah juga meningkat; akan tetapi laju dan volume banjir persatuan luas daerah tangkapan air berkurang jika luas daerah banjir bertambah.

DAMPAK NEGATIF BANJIR PADA MASYARAKAT DAN LAHAN SEKITARNYA
Banjir merupakan masalah yang menganggu stabilitas ekonomi, banjir terjadi bukan hanya menimbulkan kerugian berupa harta benda dan kehilangan nyawa di tempat terjadinya tetapi berdampak lebih luas yaitu melumpuhkan sistem perekonomi. Contoh banjir yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia seperti; Jakarta, Jambi, Kalimantan dan Sulawesi. Debit atau volume air mampu menggenangi kota, pemukiman, jalan raya, sarana dan prasarana yang digunakan untuk melakukan kegiatan perekonomian.
Fenomena banjir khususnya di Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah tahun 2003 berdampak terhadap pemadaman listrik dan terputusnya sejumlah sarana jalan jalur trans-sulawesi Palu – Donggala dan jalur trans-sulawesi Palu-Parigi Moutung lumpuh total. Debit air mencapai ketinggian 70 cm -1 meter, diperkirakan ratusan rumah penduduk, desa dan lahan pertanian subur tergenang. Banjir ini, menunjukan bahwa faktor yang menahan luapan air telah hilang, dapat diprediksi dengan semakin berkurangnya luas hutan sebagai pengatur tata air, akibat terus ditebangi sehingga efek respon dari hutan berkurang akibatnya akumulasi debit DAS tawaeli dan DAS Lolitasiburi berakhir dengan terjadinya banjir.

UPAYA MENEKAN BENCANA BANJIR
Terjadinya banjir tidak bisa dicegah, tetapi dapat berkurang dengan prediksi banjir serta usaha pengendalian yang tepat. Fenomena banjir merupakan peristiwa yang tidak diinginkan oleh siapapun, sehingga perlu perencanaan dan perlakuan khusus terhadap DAS ataupun saluran buatan agar kapasitas sungai dan drainase dapat menampung serta mengalirkan air dimusim penghujan, hingga luapan air dapat terkendali. Penanggulangan banjir dari faktor hujan sangat sulit karena hujan adalah  faktor eksternal digerakkan oleh iklim makro secara global, sehingga upaya yang masih dapat dilakukan adalah menjauhkan bentuk kegiatan (pemukiman, industri dan pusat pertumbuhan lainnya) dari daerah banjir yang secara historis telah dipetakan berdasarkan data curah hujan setempat.
Secara umum alternatif untuk menguragi kerugian dan kurusakan akibat banjir pada daerah aliran sungai adalah:
  1. Secara non tehnik structural
    • Pembuatan peraturan daerah tentang penguasaan lahan dan peraturan daerah tentang daerah dataran banjir serta garis sepadan sungai.
    • Pelaksanaan tindakan rehabilitasi lahan menggunakan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air guna memperkecil aliran permukaan.
    • Pengaturan penggunaan lahan untuk mengantisipasi pembangunan ataupun pemanfaatan daerah dataran banjir.
    • Pengaturan penambangan galian C (pasir dan batu) agar pengelolaanya berwawasan lingkungan (khusus Palu dan Donggala).
    • Perlunya sosialisasi masalah banjir dan akibat yang ditimbulkan, sehingga diharapkan aktifitas masyarakat yang bermukim disekitar daerah pengaliran dapat berwawasan lingkungan.
  2. Secara tehnik structural
    • Pembuatan kolam retensi dan atau sumur resapan diseluruh kawasan perkebunan, pertanian, pemukiman, perkantoran, perkotaan dan pedesaan
    • Pembuatan jembatan dirancang dengan panjang dan tinggi maksimal untuk kelancaran aliran air dalam volume besar (Khusus DAS).
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian dapat disimpulkan sebagai berikut:
  1. Banjir dapat terjadi akibat iklim (curah hujan) dan banjir dapat bula terjadi akibat kerusakan DAS bagian hulu, tengah dan hilir.
  2. Upaya yang dapat dilakukan menekan peristiwa banjir; untuk banjir yang disebabkan oleh curah hujan yaitu menjauhkan segala kegiatan ( pemukiman, industri dan pusat pertumbuhan lainnya) dari daerah banjir yang secara historis telah dipetakan berdasarkan data curah hujan setempat, sedangkan untuk banjir akibat aktifitas manusia dan kerusakan lingkungan dapat diupayakan dengan dua cara secara non teknik stuktural dan secara teknik struktura

0 komentar:

Posting Komentar

Sample text

Jumat, 09 November 2012

Masalah Banjir Tak Kunjung Selesai

Diposting oleh Unknown di 00.18

 Banjir yang terjadi diakhir tahun 2003 yang lalu, merupakan salah satu peristiwa banjir yang tergolong cukup besar melanda beberapa kawasan daerah aliran sungai, lahan pertanian yang subur, pemukiman penduduk dan juga mengakibatkan terputusnya hubungan darat Kabupaten Donggala dengan kota Palu Ibukota Propinsi Sulawesi Tengah. Akibat lebih jauh lagi yaitu terjadinya degradasi lahan dan krisis hidrologis, hal ini dapat berarti bahwa DAS tersebut sudah tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai “Storage” (pengatur dan penyimpan) air di musim penghujan ataupun dimusim kemarau.
Banjir dan kekeringan adalah masalah yang saling berkaitan dan datang susul menyusul, semua faktor yang menyebabkan kekeringan akan bergulir menyebabkan terjadinya banjir (Maryono, 2005). Lebih lanjut (Siswoko, 2002) menyatakan bahwa beberapa faktor menjadi penyebab masalah banjir yaitu adanya interaksi antara factor penyebab yang bersifat alamiah, dalam hal ini kondisi dan peristiwa alam serta campur tangan manusia yang beraktivitas pada daerah pengaliran.
Upaya yang dapat dilakukan untuk menekan terjadinya peristiwa banjir; untuk banjir yang disebabkan oleh curah hujan yaitu menjauhkan segala bentuk kegiatan ( pemukiman, industri dan pusat pertumbuhan lainnya) dari daerah banjir yang secara historis telah dipetakan berdasarkan data curah hujan setempat, sedangkan untuk banjir akibat aktivitas manusia dan kerusakan lingkungan dapat diupayakan dengan dua cara secara non teknik stuktural dan  secara teknik struktural.

PENDAHULUAN
Fenomena banjir di daerah tropis khususnya Indonesia membawa dampak negatif; akhir-akhir ini menimbulkan berbagai kerugian dari segi kesehatan, kerugian harta benda, dan bahkan kehilangan nyawa penduduk.
Peningkatan jumlah penduduk Indonesia mencapai 2,3 % per tahun dan pertumbuhan populasi tersebut tidak sebanding dengan ketersediaan lahan, ketersediaan lapangan kerja serta minimnya ketrampilan dan rendahnya tingkat pendidikan. Hal ini mendorong masyarakat mengeksploitasi sumberdaya alam melalui pembalakan hutan (forest logging), pengurangan areal tegakan hutan (deforestasi) dan pembukaan lahan pertanian baru yang intensif pada kawasan hulu daerah aliran sungai (DAS) tanpa menggunakan kaidah konservasi mengakibatkan tanah rentan terhadap erosi dan tanah longsor yang berperan mempercepat proses terjadinya banjir di kawasan hilir DAS.
Banjir akhir tahun 2003 merupakan peristiwa banjir yang tergolong cukup besar dengan melanda beberapa kawasan daerah aliran sungai, lahan pertanian yang subur, pemukiman penduduk dan juga mengakibatkan terputusnya hubungan darat Kabupaten Donggala dengan kota Palu Ibukota Propinsi Sulawesi Tengah. Banjir menyebabkan degradasi lahan dan krisis hidrologis, berarti bahwa DAS tersebut sudah tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai “Storage” (pengatur dan penyimpan) air musim penghujan ataupun dimusim kemarau.
Keadaan alam wilayah Sulawesi Tengah, tidak jauh berbeda dengan wilayah lainnya di Pulau Sulawesi. Bentangan pegunungan dan dataran tinggi mendominasi permukaan tanah propinsi ini, bagian utara wilayah Kabupaten Buol dan Toli-toli terdapat deretan pegunungan yang berangkai ke jajaran pegunungan Propinsi Sulawesi Utara, bagian tengah terdapat lahan tergolong kritis diapit oleh Selat Makassar dan Teluk Tomini, wilayah ini secara administratif termasuk Kabupaten Donggala dan Kabupaten Parigi Moutong, sebagian besarnya merupakan daerah pegunungan dan perbukitan, bagian selatan dan timur mencakup wilayah Kabupaten Poso, Kabupaten Tojo Unauna, Kabupaten Morowali dan Kabupaten Banggai, berjejer pegunungan seperti Pegunungan Tokolekayu, Verbeek, Tineba, Pampangeo, Fennema, Balingara, dan Pegunungan Batui, sebagian besar dari daerah-daerah pegunungan itu mempunyai lereng terjal dengan kemiringan di atas 450.
Kondisi DAS Lolitasiburi dan DAS Tawaeli kabupaten Donggala saat ini rentan terhadap erosi dan sedimentasi disebabkan terkikisnya tanah sekitar aliran dan tebing-tebing sungai berakibat pada pelebaran dan pendangkalan yang merubah alur sungai, keadaan DAS demikian kritis masih terdapat aktivitas tata guna lahan, penambangan sirtu (pasir dan batu), kesalahan perencanaan implementasi kawasan dan kesalahan konsep drainase secara keseluruhan memicu peluang terjadinya banjir.


TATA GUNA LAHAN DAN PENGOLAHAN AIR
Pemanfatan sumberdaya alam tidak sesuai kemampuan dan daya dukungnya berdampak mempercepat rusaknya daur hidrologi, dalam kondisi ekstrim tertentu mempercepat terjadinya kekeringan yang mengarah pada ‘desertification’ maupun banjir. Peranan tata guna lahan pada aliran permukaan bisa digambarkan dalam koefisien aliran permukaan sebagai bilangan yang menunjukkan perbandingan antara besar aliran permukaan dan besarnya curah hujan, angka koefisien aliran permukaan merupakan salah satu indikator yang menentukan kondisi fisik DAS. Hingga saat ini peran lahan kering belum didayagunakan secara optimal, selain itu pemerintah dengan gerakan nasional reboisasi hutan dan lahan masih jauh dari yang diharapkan akibatnya banjir bandang masih terus terjadi.
Ekosistem DAS hulu merupakan bagian penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan bagian DAS. Perlindungan ini antara lain sebagai fungsi tata air, oleh karenanya perencanaan DAS hulu seringkali menjadi fokus perhatian mengingat dalam suatu DAS bagian hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi. Aktivitas perubahan tataguna lahan dan atau pembuatan bangunan konservasi dilaksanakan di daerah hulu dapat memberikan dampak di daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit air dan transport sedimen serta material terlarut lain (non-point pollution). Keterkaitan DAS hulu – hilir di atas dapat digunakan sebagai satuan unit perencanaan sumberdaya alam termasuk pembangunan pertanian berkelanjutan.

ANALISA FAKTOR PENYEBAB BANJIR
Banjir dalam bahasa populernya biasa diartikan sebagai aliran atau genangan air yang menimbulkan kerugian ekonomi atau bahkan menyebabkan kehilangan jiwa, sedangkan dalam istilah teknik ‘banjir’ adalah aliran air sungai yang mengalir melampaui kapasitas tampung sungai tersebut (Hewlett, 1982 dalam Asdak, 2002) Lebih lanjut Siswoko (2002), menyatakan peristiwa banjir merupakan suatu indikasi dari ketidakseimbangan sistem lingkungan dalam proses mengalirkan air permukaan, dipengaruhi oleh besar debit air yang mengalir melebihi daya tampung daerah pengaliran, selain debit aliran permukaan banjir juga dipengaruhi oleh kondisi daerah pengaliran dan iklim (Curah hujan) setempat.

1. Faktor campur tangan manusia
Menurut Siswoko (1996), beberapa hal yang menimbulkan terjadinya banjir akibat dari aktifitas manusia yaitu;  aktifitas tataguna lahan dengan tidak memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air sehingga berakhir dengan kerusakan hutan dan pemadatan tanah, akibatnya mempengaruhi kemampuan tanah dalam meloloskan air (infiltrasi) yang mempercepat proses terjadinya banjir, pemanfaatan atau penyedotan air tanah yang berlebihan,  pembendungan melintang daerah pengaliran tampa memperhitungkan dampaknya,  pemukiman dan pengolahan lahan pertanian di daerah dataran banjir, pendangkalan daerah pengaliran akibat sediment dan sampah,  kesalahan perencanaan dan implementasi pembangunan kawasan dan pemeliharaan sarana dan prasarana pengendali banjir.
2. Faktor kondisi dan peristiwa alam
Menurut Lee (1980) dalam Subagio (1990), pengaruh penutupan hutan terhadap banjir dan kurasakan akibat banjir berkaitan dengan sedimentasi dan debit kotoran, khususnya kerusakan akibat erosi dan pendangkalan sungai. Lebih lanjut Schwab, dkk (1997), menyatakan pengaruh faktor daerah tangkapan air seperti ukuran, bentuk, posisi, topografi, geologi dan budidaya pertanian menentukan terjadinya banjir. Laju dan volume banjir suatu daerah tangkapan air meningkat bila ukuran daerah juga meningkat; akan tetapi laju dan volume banjir persatuan luas daerah tangkapan air berkurang jika luas daerah banjir bertambah.

DAMPAK NEGATIF BANJIR PADA MASYARAKAT DAN LAHAN SEKITARNYA
Banjir merupakan masalah yang menganggu stabilitas ekonomi, banjir terjadi bukan hanya menimbulkan kerugian berupa harta benda dan kehilangan nyawa di tempat terjadinya tetapi berdampak lebih luas yaitu melumpuhkan sistem perekonomi. Contoh banjir yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia seperti; Jakarta, Jambi, Kalimantan dan Sulawesi. Debit atau volume air mampu menggenangi kota, pemukiman, jalan raya, sarana dan prasarana yang digunakan untuk melakukan kegiatan perekonomian.
Fenomena banjir khususnya di Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah tahun 2003 berdampak terhadap pemadaman listrik dan terputusnya sejumlah sarana jalan jalur trans-sulawesi Palu – Donggala dan jalur trans-sulawesi Palu-Parigi Moutung lumpuh total. Debit air mencapai ketinggian 70 cm -1 meter, diperkirakan ratusan rumah penduduk, desa dan lahan pertanian subur tergenang. Banjir ini, menunjukan bahwa faktor yang menahan luapan air telah hilang, dapat diprediksi dengan semakin berkurangnya luas hutan sebagai pengatur tata air, akibat terus ditebangi sehingga efek respon dari hutan berkurang akibatnya akumulasi debit DAS tawaeli dan DAS Lolitasiburi berakhir dengan terjadinya banjir.

UPAYA MENEKAN BENCANA BANJIR
Terjadinya banjir tidak bisa dicegah, tetapi dapat berkurang dengan prediksi banjir serta usaha pengendalian yang tepat. Fenomena banjir merupakan peristiwa yang tidak diinginkan oleh siapapun, sehingga perlu perencanaan dan perlakuan khusus terhadap DAS ataupun saluran buatan agar kapasitas sungai dan drainase dapat menampung serta mengalirkan air dimusim penghujan, hingga luapan air dapat terkendali. Penanggulangan banjir dari faktor hujan sangat sulit karena hujan adalah  faktor eksternal digerakkan oleh iklim makro secara global, sehingga upaya yang masih dapat dilakukan adalah menjauhkan bentuk kegiatan (pemukiman, industri dan pusat pertumbuhan lainnya) dari daerah banjir yang secara historis telah dipetakan berdasarkan data curah hujan setempat.
Secara umum alternatif untuk menguragi kerugian dan kurusakan akibat banjir pada daerah aliran sungai adalah:
  1. Secara non tehnik structural
    • Pembuatan peraturan daerah tentang penguasaan lahan dan peraturan daerah tentang daerah dataran banjir serta garis sepadan sungai.
    • Pelaksanaan tindakan rehabilitasi lahan menggunakan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air guna memperkecil aliran permukaan.
    • Pengaturan penggunaan lahan untuk mengantisipasi pembangunan ataupun pemanfaatan daerah dataran banjir.
    • Pengaturan penambangan galian C (pasir dan batu) agar pengelolaanya berwawasan lingkungan (khusus Palu dan Donggala).
    • Perlunya sosialisasi masalah banjir dan akibat yang ditimbulkan, sehingga diharapkan aktifitas masyarakat yang bermukim disekitar daerah pengaliran dapat berwawasan lingkungan.
  2. Secara tehnik structural
    • Pembuatan kolam retensi dan atau sumur resapan diseluruh kawasan perkebunan, pertanian, pemukiman, perkantoran, perkotaan dan pedesaan
    • Pembuatan jembatan dirancang dengan panjang dan tinggi maksimal untuk kelancaran aliran air dalam volume besar (Khusus DAS).
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian dapat disimpulkan sebagai berikut:
  1. Banjir dapat terjadi akibat iklim (curah hujan) dan banjir dapat bula terjadi akibat kerusakan DAS bagian hulu, tengah dan hilir.
  2. Upaya yang dapat dilakukan menekan peristiwa banjir; untuk banjir yang disebabkan oleh curah hujan yaitu menjauhkan segala kegiatan ( pemukiman, industri dan pusat pertumbuhan lainnya) dari daerah banjir yang secara historis telah dipetakan berdasarkan data curah hujan setempat, sedangkan untuk banjir akibat aktifitas manusia dan kerusakan lingkungan dapat diupayakan dengan dua cara secara non teknik stuktural dan secara teknik struktura

0 komentar on "Masalah Banjir Tak Kunjung Selesai"

Posting Komentar

Hallooo.. ^_^

Ads 468x60px

Social Icons

Popular Posts

Popular Posts

Popular Posts

Featured Posts

Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © / Berbagi Untuk Semua

Template by : Urang-kurai / powered by :blogger